Indonesia yang memiliki wilayah yang
luas, tidak hanya membutuhkan
perencaaan pembangunan yang makro,
tetapi juga secara sektoral yang tetap
sinergis satu sama lain. Koordinasi antar wilayah dan pembangunan
berbagai sektor
sangat perlu dengan memperhatikan
faktor sosial ekonomi, pertumbuhan
ekonomi, administrasi pembangunan dan sosial politik
negara (Soesastro, 2005). Pencapaian
tujuan negara Indonesia tentu harus melalui perencanaan
yang menyeluruh dan sejalan
dalam setiap bidang dari tataran nasional
hingga daerah. Perencanaan nasional
merupakan sebuah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang
tepat, melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumber daya
yang tersedia, yang dituangkan
dalam suatu dokumen
sebagai panduan bagi para
pelaku pembangunan untuk mencapai tujuan
negara (Nurcholis et al., 2007). Dalam menjalankan
strategi pembangunan sebuah negara dibutuhkan alur yang jelas dan target
yang terukur sehingga nantinya
tujuan dari sebuah negara tersebut
dapat terwujud. Oleh karena
itu, suatu sistem dalam perencanaan pembangunan nasional sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945-yang merupakan landasan
konstitusional penyelenggaraan
negara-dalam waktu relatif singkat (1999-2002) telah mengalami
4 (empat) kali perubahan. Kemudian, sebagai salah
satu konsekuensi amandemen ini dikeluarkanlah
Undang-Undang Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No. 25
Tahun 2004, LN Tahun
2004 No. 104, TLN No. 4421). UU
No. 25 Tahun 2004 dianggap
sebagai dasar
perumusan kebijakan sebagai
pengejawantahan
cita-cita Indonesia.
Dalam Penjelasan Umum UU No. 25
Tahun 2004, undang-undang ini dinyatakan
sebagai pengganti
Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Dimana disebutkan
dalam penjelasan umum pengelolaan pembangunan nasional
mengalami perubahan
sebagai berikut:
1.
penguatan kedudukan lembaga legislatif
dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, (APBN);
2.
ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman
penyusunan rencana pernbangunan nasional; dan
3.
diperkuatnya
Otonomi Daerah
dan desentralisasi pemerintahan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.
Keberadaaan GBHN dan UU No. 25 Tahun
2004, tentu tidak sama dari aspek kedudukan serta
fungsi. GBHN sebenarnya memberikan landasan bagi visi dan misi Indonesia secara jangka panjang,
yang mana tidak
dapat diketemukan dalam UU No. 25 Tahun 2004. Walaupun demikian, UU No.25
Tahun 2004 dalam Pasal 13, mengamanatkan
penetapan rencana pembangunan nasional menjadi produk
hukum sehingga mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Sebagai aturan pelaksana
dari UU No. 25
Tahun 2004
sebagai perwujudan perencanaan bottom-up adalah PP
No.
40 Tahun 2006
Tentang
Tata Cara
Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional
(LN Tahun 2006 No. 97, TLN No. 4664) yang
memperjelas fungsi dari Musrenbang.
Selain itu, rencana pembangunan
jangka panjang Nasional/ Daerah
ditetapkan sebagai Undang-Undang/
Peraturan Daerah,
rencana pembangunan
jangka menengah Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan
Presiden/Kepala Daerah, dan
rencana pembangunan tahunan Nasional/Daerah
ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/ Kepala Daerah.
Maka sebagai perwujudan dari delegasi
UU No. 25 Tahun 2004, diundangkanlah Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007
Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (LN Tahun 2007 No. 33, TLN
No. 4700). Dalam penetapan Undang-Undang/
Peraturan Daerah akan sangat
memakan waktu mulai dari pelaksanaan
Musrenbang Kelurahan sampai Musrenbang
Nasional serta penggodokan undang-undang/peraturan daerah tersebut.
Pada dasarnya, UU No. 25
Tahun 2004 sebagaimana disebutkan dalam Pasal
2
ayat (4),
memiliki tujuan untuk mendukung
koordinasi antarpelaku pembangunan, menjamin terciptanya
integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah,
antar ruang
antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.
Keberadaan undang-undang ini, diharapkan dapat menjamin keterkaitan dan konsistensi
antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
dan pengawasan serta mengoptimalkan partisipasi masyarakat;
dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya
secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan, sebagaimana
cita-cita dalam reformasi Indonesia.
Belakangan diketahui, perencanaan
pembangunan yang desentralistik juga malah
menghambat pembangunan nasional dengan
berpusatnya kekuasaan pada kelompok
elit lokal yang berusaha mengkangkangi hukum yang ada (Nurcholis, 2003: 45). Keberadaan
UU 25 Tahun
2004 apabila dikaitkan dengan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan
Daerah (LN
Tahun
2004 No. 125, TLN 4437), sangat mendesak untuk diteliti
keberlakuannya, karena dengan
adanya otonomi daerah sekarang ini akan berdampak pada
pola pengambilan kebijakan yang dulunya terpusat menjadi terbagi pada masing-masing daerah. Sehingga kebijakan
nasional adakalanya harus
diterjemahkan ulang oleh daerah
atau bahkan perencanaan nasional
tersebut telah didahului oleh
daerah. Sehingga tidak menutup
kemungkinan terjadi kebijakan ganda dengan anggaran yang
berganda juga. Oleh karena
itu, mengingat beberapa kemungkinan
bias dalam perencanaan pembangunan
secara nasional ini, maka sangat
dibutuhkan suatu pengkajian mendasar mengenai konsep
perencanaan pembangunan nasional,
khususnya yang berkaitan
nantinya dalam masalah
hukum dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
Dalam
KUH Perdata Indonesia tidakbanyak mengatur tentang
kontrak konstruksi. Kebanyakan ketentuan tenatang hukum konstruksi tersebut bersifat hukum mengatur, jadi umumnya
dapat dikesampingkan oleh
para Pihak. Adapun prinsip-prinsip yuridis
mengenai kontrak konstruksi yang
terdapat dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut :
1. Prinsip
Korelasi antara tanggung jawab para pihak dengan kesalahan dan penyediaan bahan bangunan.
2. Prinsip ketegasan Tanggung jawab Pemborong jika bangunan musnah karena cacat dalam penyusunan atau faktor tidak ditopang oleh kesanggupan tanah.
3. Prinsip Larangan Merubah harga
kontrak.
4. Prinsip kebebasan pemutusan kontrak secara sepihak
oleh Pihak Bowheer.
5. Prinsip kontrak yang melekat dengan Pihak Pemborong.
6. Prinsip Vicarious Liability (Tanggung
Jawab Pengganti)
7. Prinsip Hak retensi
Sedangkan
prinsip hukum pemborongan dalam undang-undang jasa konstruksi No. 8 Tahun 1999
berdasarkan pada azas-azas kejujuran dan keadilan, Azas manfaat, azas
keserasian,keseimbangan, kemkitraan serta azas keamanan dan keselamatan dan
kepentingan masyarakat dan Negara.
0 komentar:
Posting Komentar